KAJIAN NOVEL LAYAR TERKEMBANG
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kata apresiasi secara harfiah berarti ‘penghargaan’
terhadap suatu objek, hal, kejadian, atau pun peristiwa. Untuk dapat memberi
penghargaan terhadap sesuatu, tentunya kita harus mengenal sesuatu itu dengan
baik dan dengan akrab agar kita dapat bertindak dengan seadil-adilnya terhadap
sesuatu itu, sebelum kita dapat memberi pertimbangan bagaimana penghargaan yang
akan diberikan terhadap sesuam itu. Kalau yang dimaksud dengan sesuatu itu
adalah karya sastra, lebih tepat iagi karya sastra prosa, maka apreciasi itu
berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seohjektif mungkin
terhadap karya sastra prosa itu. Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya
penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah
unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita
terhadap karya sastra itu.
Seperti sudah
dibicarakan, prosa atau prosa fiksi adalah sebuah bentuk karya sastra yang
disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur
musikalitas. Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema
atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan
dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi dengan tujuan tnembenkan
penghargaan terhadap karya prosa itu, kita haruslah bisa “membongkar” dan
menerangjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan “kelebihan”
karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan
bersifat tepat dan objcktif.
SINOPSIS
Tuti
adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang
pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti
yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria.
Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu
hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium,
mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan
perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi
Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggap di Martapura,
Sumatra Selatan.
Perkenalan
yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria
pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selal
teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah
perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan
berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat
hidup yang dinamis.
Esok
harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi
dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan
senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka
bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
Sejak
itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu
Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi
hubungan persahabatan biasa.
Tuti
sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar
yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan
emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk
memajukan kaumnya.
Pada
masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia
bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya,
namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam
keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin
diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan
perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung.
Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian
menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun
segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan
Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun
melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di
Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara
hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti
tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat
pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat
cintanya kepada Tuti.
Ketika
Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah
tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti
perihal keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu
sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai
bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria
makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit.
Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang
merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC diPacet,
Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada
suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di
Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di
pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok
tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar
akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam
pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat
tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi,
sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat
mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan
dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab,
kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang
merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian
setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu
dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang
terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa
kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya
dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya
tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan
pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan
pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali
melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
NOVEL
LAYAR TERKEMBANG
Dikarang Oleh : SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA
Gambar KulIT : Sebuah perahu yang terkembang layarnya di lautan luas.
Tempat Kejadian : Jakarta
Bentuk :
Roman Bertendens (yang di didalamnya terselip maksud tertentu, atau yang
mengandung pandangan hidup yang dapat dipetik
oleh si pembaca untuk
kebaikan. (Roman masyarakat- BP. 1936).
UNSUR INTRINSIK
Tema :
Perjuangan perempuan yang ingin merubah nasib kaum wanita.
Penokohan : 1. Tuti putri sulung R. Wina Atmaja.
Jiwanya sukar dipengaruhi orang lain. Tetapi
kemudian ia insaf juga, bahwa hati yang hampa itu akan menjadi kehidupan
yang kesal dan tak berguna.
2. Maria: adik Tuti, tunangan Yusuf. Jiwanya
kebalikan daripada kakanya, sehingga Yusuf gampang sekali memikatnya.
3. Yusuf: seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi
Kedokteran Jakarta, tunangan Maria. Karena Maria meninggal, Tuti dijadikan
penggantinya, sehingga terjadilah sebuah keluarga yang sentosa.
Perwatakan : 1. Tuti seorang yang jiwanya sukar
dipengaruhi orang lain, bukan seorang yang mudah kagum. Ia seorang yang cakap
dan berpikir maju.
Terukir pada
hal.15, bahwa ia mengatakan tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya
sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun harus mencari
bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya. Perlahan-lahan tumbuh dalam
hatinya sesuatu perasaan hormat kepada kekerasan hati dan ketetapan pendirian
anaknya yang tua itu.
Hal 40, berpikir
maju: “Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Bicara tentang
sikap perempuan baru sebagia besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah
harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan dating.”
2. Maria seorang
yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja.
Terukir pada
hal.4, “Aduh, indah benar. “Dan seraya melompat-lompat kecil ditarik tangan
kakaknya, “Lihat, Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa
ditelannyaitu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.”
3. Yusuf seorang
yang mudah bergaul dan berpikir realistis.
Terlihat dari percakapan pada hal.9, “Kenalkan Zus berdua akan orang banyak itu?”
tanya pemuda itu, yang sejak tadi tiada juga melepas-lepaskan pandangannya dari
pemuda-pemuda Eropa yang menuju ke akuarium itu.
Hal 36, berpikir realistis: “Bagi saya
sendiri, saya pun sebenarnya tiada tertarik kepada agama serupa dipakai orang
di kampong-kampung. Kehormatan orang kampung itu itu kehornatan membabi buta,
oleh sebab mereka sendiri tiada dapat dan tiada sanggupmendalami hakikat agama
yang sebenarnya.”
Alur : Maju, karena
menceritakan dari awal hingga akhir dari pertemuan sampai menikah.
Dari awal Maria
dan Tuti bertemu dengan Yusuf di Pasar Ikan sampai Yusuf menikah dengan Tuti.
Latar
: Waktu : pada tahun 1936 terlihat pada isi cerita
yang lebih kepada pandangan budaya barat yang terkenal di era 30-an dan
terlihat pada nama-nama sekolah yang masih menggunakan nama Belanda dan
menggunakan mata uang sen Rp 1 rupiah.
Tempat : Jakarta
Suasana : mengharukan
Penggunaan
Gaya Bahasa: Lebih banyak memakai bahasa Melayu sehingga terdengar rancu.
Sudut
pandang: Pengarang sebagai
pengamat atau orang ketiga.
Amanat : Perempuan
harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang
sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian
perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
UNSUR EKSTRINSIK
Hubungan Pengarang dengan karyanya : Pada
Angkatan Pujangga Baru, sudah tidak banyak lagi bertemakan adat atau
pertentangan adat melainkan sudah mengangkat juga persoalan social seperti
roman Layar Terkebang karya S.T. Alisyahnbana yang mengangkat masalah emansipasi
wanita, dengan pemikiran yang menganut budaya barat S.T. Alisayahbana disini
melalui Tokoh Tuti menyampaikan pendapat-pendapat dan pandangan tentang peranan
wanita dan kaum muda dalam membangun bangsa, tokoh Tuti yang berpakaian kain
panjang dan kebaya tetapi berfikir barat, disini S.T. Alisayahbana mencerminkan
akan dirinya yang dimana ia menganut budaya barat akan tetapi tidak
meninggalkan budayanya, dan menginginkan pembaharuan kea rah kemajuan bangsa
dan negaranya, terutama dalam dunia wanita.
Nilai Agama:
Disini S.T. Alisyahbana mencerminkan agama
pada zaman itu yang seakan percaya dengan takhayul, disini Sutan ingin
menyadarkan bahwa percaya pada suatu takhayul akan mematikan jiwa dan iman
seseorang. Dan menjelaskan bahwa Agama bukan hanya sekedar warisan dari orang
tua kita akan tetapi agama haruslah sejalan dengan hati kita yang
sebenar-benarnya dalam hati dan harus sesuai dengan perbuatan kita agar agama
yang kita anut tidak sia-sia.
Nilai Sosial;
S.T. Alisyahbana tercermin merupakan orang
yang sangat perduli terhadap social budaya, yakni terlihat pada tokoh Saleh dan
istrinya yang sengaja pindah ke pedasaan untuk semata-mata ingin memajukan
derajat dan perekonomian desa tersebut agar tidak tertinggal dan dirugikan lagi
oleh para tengkulak. Intinya kita sebagai orang terpelajar haruslah melihat
sekeliling kita yang membutuhkan kita akar masyarakat Indonesia ini tidak
tertinggal dari Negara lain yang terbantu dengan ilmu yang bisa kita berikan
pada masyarakat.
Nilai Budaya:
Pada Tokoh Tuti tercermin sosok yang
menganut Budaya Barat akan tetapi tidak meninggalkan budaya sendiri dilihat
dari cara berpakaian Tuti yang memakai kain panjang dan kebaya akan tetapi
pemikirannya menganut budaya barat
sehingga sangat kritis akan tetapi tidak meninggalkan dan melupakan budaya
sendiri.
PENUTUP
- Kesimpulan
Roman ini tiada lagi berisi
pertentangan faham lama dan baru sebagai pada Masa Angkatan 20, suara yang
ditiupkan S.T. Alisyahbana merupakan suara baru dalam keromanan Indonesia.
Roman ini lebih bercorak penerangan tentang kehidupan masyarakat: perjuangan
wanita, pertanian, masyarakat desa, agama, jabatan, kebudayaan dan lain-lain
yang digemakan oleh Tuti sebagai peranan utama. Bahasa yang disuratkan lebih
mencapai mutunya, terutama pada lukisan alam yang membosankan S.T. Alisyahbana
memang pelukis alam yang baik.
makasih ya buat ringkasan resensinya sangat membantu
BalasHapusthnks ukhti ringkasannya gampang di pahami , singkat padat , dan jelas ... :)
BalasHapusthnks ukhti ringkasannya gampang di pahami , singkat padat , dan jelas ... :)
BalasHapusPenjelasannya bagus kak, cuma alangkah baiknya jika dituliskan bukti kutipan dan halaman dimana kutipan itu terdapat
BalasHapus