Rabu, 08 Februari 2012

Puisi (HAMPA)


HAMPA

Ku rasa tergores hati
Yang mendalam melebihi laut
Ku terdiam menatap bintang
Tak ada satupun yang menghilang

Bangku tak ada yang menempati
menoleh takut tak ada suara
menatap penuh harapan
tetap ku kan menunggu

hampa tlah kurasa menempati jiwa yang mendalam
dan terpaut oleh waktu
aku menderita

Puisi (GILA)


`GILA
Mata mengantuk
Hati terpuruk
Bagai anjing mengoyak daging
Sekering gurun sahara, Setajam taring singa
Kau lempar jauh ke dasar jurang
Bisa GILA
Yaaaa….. aq mengerti
Compang-camping tergeletak mati.

Puisi (MANA!!!!!!!!!)


MANA !!!!!!!!!!
Ya Tuhan ini takdirmu
Ku terlepas dari jeratan
Ku terjatuh dari pelukan
Hati ini tersayat perih
Menganga mulut ini
Terperanjatnya aku!!!!!
OH!
Sudah jelas. sejelas-jelasnya!
Burung camar terdengar jelas aku mendengar..
Alunan lagu penuh kasih sayang TERHEMPAS!!!!!!!!!!!!
JAUH terkubur mati dibawa mati.
Di dalam hati berbisik!
Ini aku ada selalu didalam hatimu!
Sungguh sakit hati ku mendengarnya!
Mana kesetiaanNYA!
Terpikir untuk mati.
Mati hati! Mati jiwa! Mati dan mati.
Tersadar anak kecil sedang menangis
Menunggu kepulangannya.
Menunggu kasih sayang darinya
Kapan kau akan kembali.
Dipersimpangan jalan kan ku temukan kau lagi, dan ku katakana jangan mati!

KAJIAN NOVEL LAYAR TERKEMBANG



KAJIAN NOVEL LAYAR TERKEMBANG


PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang

Kata apresiasi secara harfiah berarti ‘penghargaan’ terhadap suatu objek, hal, kejadian, atau pun peristiwa. Untuk dapat memberi penghargaan terhadap sesuatu, tentunya kita harus mengenal sesuatu itu dengan baik dan dengan akrab agar kita dapat bertindak dengan seadil-adilnya terhadap sesuatu itu, sebelum kita dapat memberi pertimbangan bagaimana penghargaan yang akan diberikan terhadap sesuam itu. Kalau yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah karya sastra, lebih tepat iagi karya sastra prosa, maka apreciasi itu berati memberi penghargaan dengan sebaik-baiknya dan seohjektif mungkin terhadap karya sastra prosa itu. Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah unsur-unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita terhadap karya sastra itu.
Seperti sudah dibicarakan, prosa atau prosa fiksi adalah sebuah bentuk karya sastra yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur musikalitas. Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi dengan tujuan tnembenkan penghargaan terhadap karya prosa itu, kita haruslah bisa “membongkar” dan menerangjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objcktif.




SINOPSIS

Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selal teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC diPacet, Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.








NOVEL LAYAR TERKEMBANG
Dikarang Oleh    : SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA
Gambar KulIT     : Sebuah perahu yang terkembang layarnya di lautan luas.
Tempat Kejadian              : Jakarta
Bentuk                                                 : Roman Bertendens (yang di didalamnya terselip maksud tertentu, atau yang
 mengandung pandangan hidup yang dapat dipetik oleh si pembaca untuk
 kebaikan. (Roman masyarakat- BP. 1936).
UNSUR INTRINSIK
Tema                     : Perjuangan perempuan yang ingin merubah nasib kaum wanita.
Penokohan         : 1. Tuti putri sulung R. Wina Atmaja. Jiwanya sukar dipengaruhi orang lain. Tetapi   kemudian ia insaf juga, bahwa hati yang hampa itu akan menjadi kehidupan yang kesal dan tak berguna.
                                 2. Maria: adik Tuti, tunangan Yusuf. Jiwanya kebalikan daripada kakanya, sehingga Yusuf gampang sekali memikatnya.
                                 3. Yusuf: seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta, tunangan Maria. Karena Maria meninggal, Tuti dijadikan penggantinya, sehingga terjadilah sebuah keluarga yang sentosa.
Perwatakan        : 1. Tuti seorang yang jiwanya sukar dipengaruhi orang lain, bukan seorang yang mudah kagum. Ia seorang yang cakap dan berpikir maju.
                                Terukir pada hal.15, bahwa ia mengatakan tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun harus mencari bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya. Perlahan-lahan tumbuh dalam hatinya sesuatu perasaan hormat kepada kekerasan hati dan ketetapan pendirian anaknya yang tua itu.
                                Hal 40, berpikir maju: “Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Bicara tentang sikap perempuan baru sebagia besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan dating.”
                                2. Maria seorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja.
                                Terukir pada hal.4, “Aduh, indah benar. “Dan seraya melompat-lompat kecil ditarik tangan kakaknya, “Lihat, Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa ditelannyaitu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.”   
                                3. Yusuf seorang yang mudah bergaul dan berpikir realistis.
                                 Terlihat dari percakapan pada hal.9,  “Kenalkan Zus berdua akan orang banyak itu?” tanya pemuda itu, yang sejak tadi tiada juga melepas-lepaskan pandangannya dari pemuda-pemuda Eropa yang menuju ke akuarium itu.
                                 Hal 36, berpikir realistis: “Bagi saya sendiri, saya pun sebenarnya tiada tertarik kepada agama serupa dipakai orang di kampong-kampung. Kehormatan orang kampung itu itu kehornatan membabi buta, oleh sebab mereka sendiri tiada dapat dan tiada sanggupmendalami hakikat agama yang sebenarnya.”
Alur                        : Maju, karena menceritakan dari awal hingga akhir dari pertemuan sampai menikah.
                                Dari awal Maria dan Tuti bertemu dengan Yusuf di Pasar Ikan sampai Yusuf menikah dengan Tuti.
Latar :                    Waktu   : pada tahun 1936 terlihat pada isi cerita yang lebih kepada pandangan budaya barat yang terkenal di era 30-an dan terlihat pada nama-nama sekolah yang masih menggunakan nama Belanda dan menggunakan mata uang sen Rp 1 rupiah.
 Tempat : Jakarta
                                 Suasana : mengharukan
Penggunaan Gaya Bahasa: Lebih banyak memakai bahasa Melayu sehingga terdengar rancu.
Sudut pandang:                Pengarang sebagai pengamat atau orang ketiga.
Amanat :              Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.

UNSUR EKSTRINSIK
Hubungan Pengarang dengan karyanya : Pada Angkatan Pujangga Baru, sudah tidak banyak lagi bertemakan adat atau pertentangan adat melainkan sudah mengangkat juga persoalan social seperti roman Layar Terkebang karya S.T. Alisyahnbana yang mengangkat masalah emansipasi wanita, dengan pemikiran yang menganut budaya barat S.T. Alisayahbana disini melalui Tokoh Tuti menyampaikan pendapat-pendapat dan pandangan tentang peranan wanita dan kaum muda dalam membangun bangsa, tokoh Tuti yang berpakaian kain panjang dan kebaya tetapi berfikir barat, disini S.T. Alisayahbana mencerminkan akan dirinya yang dimana ia menganut budaya barat akan tetapi tidak meninggalkan budayanya, dan menginginkan pembaharuan kea rah kemajuan bangsa dan negaranya, terutama dalam dunia wanita.
Nilai Agama:
Disini S.T. Alisyahbana mencerminkan agama pada zaman itu yang seakan percaya dengan takhayul, disini Sutan ingin menyadarkan bahwa percaya pada suatu takhayul akan mematikan jiwa dan iman seseorang. Dan menjelaskan bahwa Agama bukan hanya sekedar warisan dari orang tua kita akan tetapi agama haruslah sejalan dengan hati kita yang sebenar-benarnya dalam hati dan harus sesuai dengan perbuatan kita agar agama yang kita anut tidak sia-sia.
Nilai Sosial;
S.T. Alisyahbana tercermin merupakan orang yang sangat perduli terhadap social budaya, yakni terlihat pada tokoh Saleh dan istrinya yang sengaja pindah ke pedasaan untuk semata-mata ingin memajukan derajat dan perekonomian desa tersebut agar tidak tertinggal dan dirugikan lagi oleh para tengkulak. Intinya kita sebagai orang terpelajar haruslah melihat sekeliling kita yang membutuhkan kita akar masyarakat Indonesia ini tidak tertinggal dari Negara lain yang terbantu dengan ilmu yang bisa kita berikan pada masyarakat.
Nilai Budaya:
Pada Tokoh Tuti tercermin sosok yang menganut Budaya Barat akan tetapi tidak meninggalkan budaya sendiri dilihat dari cara berpakaian Tuti yang memakai kain panjang dan kebaya akan tetapi pemikirannya menganut  budaya barat sehingga sangat kritis akan tetapi tidak meninggalkan dan melupakan budaya sendiri.


PENUTUP


  1. Kesimpulan

Roman ini tiada lagi berisi pertentangan faham lama dan baru sebagai pada Masa Angkatan 20, suara yang ditiupkan S.T. Alisyahbana merupakan suara baru dalam keromanan Indonesia. Roman ini lebih bercorak penerangan tentang kehidupan masyarakat: perjuangan wanita, pertanian, masyarakat desa, agama, jabatan, kebudayaan dan lain-lain yang digemakan oleh Tuti sebagai peranan utama. Bahasa yang disuratkan lebih mencapai mutunya, terutama pada lukisan alam yang membosankan S.T. Alisyahbana memang pelukis alam yang baik.

Senin, 06 Februari 2012

Puisi (TERSAYAT MATI)


TERSAYAT MATI!
TerSayat mati!
tertawa sakit menahan perih.
ku melihatnya murung.
menunggu ku di pinggir nisan
...mana air mata yang harus kau pegang erat.
janjiku hanya satu.
Dan rasaku hanya untuknya satu.
kan ku kibas semua yang menghalangi.
Termasuk hati ini. Munafik
Tenang seperti awan hitam.
Selamat atas kepulangannya.
terkenang selalu basah di pipi
tanah merah masih terhampar merunduk.